Minggu, 29 Mei 2011

POSISI PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF DALAM KONFIGURASI ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM

Oleh : Said Syahrul Rahmad Ali 

1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.

2. Hukum progresif itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan.
Hukum itu harus berpihak kepada rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan (diistilahkan sebagai "mobilisasi hukum") jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan pro-keadilan ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya.

3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan
dan kebahagiaan.
Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan.

4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi
 Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia. Ia terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatan-kekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. Kekuatan-kekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaiknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja.

5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik.
Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku manusia. Di tangan perilaku buru, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan orangorang dengan perilaku baik.

6. Hukum progresif memiliki tipe responsif.
Dalam tipe responsif, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang disebut oleh Nonet dan Selznick sebagai "the souverignity of purpose". Pendapat ini sekaligus mengritik doktrin due process of law. Tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.

7. Hukum progresif mendorong peran publik.
Mengingat hukum memiliki kemampuan yang terbatas, maka mempercayakan segala sesuatu kepada kekuatan hukum adalah sikap yang tidak realistis dan keliru. Di sisi lain, masyarakat ternyata memiliki kekuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan ini untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang
notabene adalah hukm negara. Untuk itu, hukum progresif sepakat memobilisasi kekuatan otonom masyarakat (mendorong peran publik).



8. Hukum progersif membangun negara hukum yang berhatinurani.
Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang
dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih mengutamakan "a state with conscience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: "bernegara hukum untuk apa" dan dijawab dengan: "bernegara untuk membahagiakan rakyat."

9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (rule-bound), juga tidak hanya bersifat
kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.

10. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan.
 Hukum progresif menolak sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan
kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk kepada maksim "rakyat untuk hukum".


a. Hukum Progresif dan Aliran Hukum Kodrat
Kedekatan aliran hukum kodrat dengan hukum progresif terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta-juridical. Beliau menulis sebagai berikut: "Teori hukum alam mengutamakan 'the search of justice' daripada lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut 'logika dan peraturan.'"

Ada beberapa hal yang penting pertama, nilai keadilan dan kemanusiaan pada aliran hukum kodrat memiliki dimensi yang lebih luas daripada aliran filsafat hukum manapun. Aliran hukum kodrat meletakkan dimensi keadilan dan kemanusiaan secara universal, bukan partikular. Gagasan universalisme ini bahkan mampu mengatasi ruang dan waktu. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan semangat hukum progresif yang menempatkan latar belakang pemikirannya sebagai pemikiran hukum di tengah-tengah masa transisi keindonesiaan. Apa yang disebut adil dan manusiawi dalam konteks pemikiran hukum progresif sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lokal.

Hal kedua adalah bahwa gagasan pemikiran aliran hukum kodrat bertolak dari filsafat idealisme, sesuatu yang tidak kuntuk menjadikan hukum sebagai institusi yang dibiarkan mengalir. Dalam idealisme, apa yang dianggap adil dan baik itu sudah selesai berproses. Justru karena sudah berupa produk itulah, maka nilai-nilai ini bisa diberlakukan secara universal dan abadi. Ketiga, cara bernalar dalam aliran hukum kodrat juga menerapkan logika doktrinal-deduktif yang self-evident.  Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum. Titik singgung lain yang dapat dilacak antara hukum progresif dan aliran hukum kodrat adalah pada apa yang disebut logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan. Kedua logika ini,  diikutsertakan dalam membaca kaidah hukum karena membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan tujuan hukum. Dalam kaca mata aliran hukum kodrat, konsep tentang keadilan merupakan salah satu isu paling penting yang diwacanakan.

b. Hukum Progresif dan Mazhab Sejarah
Sangat sulit untuk memahami hukum suatu bangsa dengan baik, apabila hukum dilepaskan dari lingkungan dan habitatnya, yakni masyarakat di mana hukum itu berada dan dijalankan. Hukum adalah sesuatu yang selalu tertanam dalam peculiar form of social life atau socially specific. Dalam hal ini, Brian Z. Tamanaha yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan belaka dari masyarakatnya, yaitu gagasan-gagasan, tradisi, nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks teori cermin (mirror thesis) ini, transplantasi dan transformasi hukum dari masyarakat lain hampir tidak dimungkinan. Pemikiran demikian kurang lebih sama dengan pandangan C. von Savigny (1779-1861), penggagas mazhab sejarah. Mazhab Sejarah berangkat dari pemikiran bahwa hukum tidak perlu dibuat,
melainkan ia tumbuh bersama dengan masyarakat.

Namun, terkadang menyatakan ada banyak lembaga atau kekuatan lain di masyarakat yang sebetulnya juga berfungsi memberikan tuntutan seperti itu, seperti adat, kebiasaan, dan berbagai norma nonhukum lainnya. Meskipun demikian, ia tetap mengakui bahwa dalam konteks dan tradisi negara dan hukum modern, undang-undang memiliki kelebihan di atas norma yang lain.

Sebenarnya, bahwa undang-undang tidak boleh dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. "Mengapa undang-undang terlalu diributkan?" tanyanya. Ada kekuatan asli, otentik, dan otonom yang bekerja laten dalam masyarakat yang mempengaruhi bekerjanya undang-undang. Masyarakat ternyata memiliki kekuatan untuk menawar berlakunya suatu undang-undang.

Oleh karena mazhab sejarah memandang sistem hukum itu bersifat partikular, dengan sendirinya mazhab sejarah sangat menghargai eksistensi pluralisme hukum. Dalam konteks Indonesia, persoalan pluralisme hukum biasanya terkait dengan keberadaan hukum adat dalam konstelasi sistem hukum nasional. Walaupun penelitian-penelitian tentang hukum adat di Indonesia tidak banyak menyita perhatian

c. Hukum Progresif dan Interessenjurisprudenz
Interessenjurisprudenz atau the jurisprudence of interest adalah aliran yang muncul di Jerman antara lain dipelopori oleh Rudolf van Jhering (1818-1892). Interressenjurisprudenz merupakan reaksi terhadap mazhab sejarah dan Begriffjurisprudenz yang dipandang telah memberi abstraksi kosong tentang hukum. Slogan aliran ini meyakinkan bahwa semua hukum itu tercipta karena atau bergantung penuh pada tujuannya (Der Zweck ist der Schopfer des ganzen Rechts). Hukum tidak timbul dari kamar belajar yang sepi, tetapi merupakan resultante dari perkelahian kepentingan yang berbenturan satu sama lain.

Mengingat aliran ini muncul di Jerman, maka faktor undang-undang sebagai sumber hukum menjadi penting untuk diperhatikan. Interessenjurisprudenz memandang setiap undang-undang dibuat dengan tujuan tertentu. Tujuan inilah yang harus dipegang oleh hakim tatkala ia menyelesaikan suatu perkara.
Hakim harus mendahulukan kepentingan yang telah digariskan oleh pembentuk undang-undang tersebut. Di sini digunakan penafsiran teleologis dikaitkan dengan penafsiran sejarah undang-undang. Baru apabila hakim gagal mencari kaitan itu dalam penafsiran historis, ia boleh memberikan pertimbangan tersendiri.

Kendati demikian, konsep "biarkan hukum mengalir" yang dicetuskannya jelas bukan sesuatu yang bisa dikawinkan dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dalam social engineering, hukum seharusnya dialirkan dan bukan mengalir. Demikian juga dengan pandangan beliau bahwa jika ada masalah antara manusia dan hukum, maka yang harus diperbaiki adalah hukum dan bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum, adalah sesuatu yang di luar skenario social engineering.

d. Hukum Progresif dan Realisme Hukum-Freierechtslehre
Kedekatan hukum progresif dengan realisme hukum dan Freierechtslehre adalah karena mereka semua tidak melihat hukum dari kaca mata hukum itu sendiri, melainkan dari tujuan sosial yang ingin dicapai serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.Sebuah kutipan Friedmann, menyatakan bahwa realisme memahami hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan "looking forwards last things, consequencies fruits." Realisme memalingkan mukanya..."from abstraction, verbal solutions, bad apriori reasons, fixed principles, closed systems, and pretended absolutes and origins."  

Realisme hukum memandang setiap kasus adalah unik. Oleh sebab itu, menjatuhkan putusan dengan menggunakan undang-undang sebagai premis mayornya merupakan tindakan generalisasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara logika. Jadi, hakim selayaknya menjadikan fakta-fakta inilah sebagai patokan, bukan undang-undang. Sebagaimana dinyatakan oleh Oliver W. Holmes Jr., "The life of the law has not been logic, it has been experience." Kendati demikian, undang-undang toh masih dapat dipakai sebagai ancer-ancer. Sedikit berbeda dengan realisme hukum, Freierechtslehre memberi ruang diskresional yang jauh lebih besar lagi kepada para hakim. Mereka bekerja tanpa
harus melirik apalagi terikat kepada undang-undang.

e. Hukum Progresif dan Critical Legal Studies
Titik temu antara hukum progresif dan critical legal studies (CLS),  terletak pada kritik keduanya terhadap sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal, khususnya terkait dengan rule of law. Tentu saja pemikiran yang bertentangan dengan sistem hukum liberal tidak hanya ada pada gerakan CLS. Namun, jika kritik-kritik CLS ingin ditampilkan dan disandingkan dengan pemikiran hukum progresif, maka dapat diberikan sejumlah catatan. CLS menusuk jantung formalisme hukum sebagaimana dianut sistem hukum liberal dengan mengajukan dua keberatan, yaitu terhadap konsep the rule of law dan legal reasoning. Dalam kaca mata CLS, tidak ada yang dinamakan the rule of law, karena yang ada adalah the rule of the rulers. Di sini, wacana tentang kesamaan hak, misalnya, menjadi utopis. Pak Tjip termasuk orang yang tidak pernah percaya dengan asas kesamaan hak ini di lapangan. Dalam kuliah-kuliahnya beliau sering mengutip pernyataan Marc Galanter tentang "the haves always come out ahead"  yang menunjukkan adanya praktik diskriminatif (dalam arti negatif) dalam penegakan hukum. Sementara tentang penalaran hukum (legal reasoning), juga ditolak oleh CLS. Penganut CLS memandang tidak ada yang istimewa dari apa yang disebut penalaran hukum itu.  tentang perlunya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar