Senin, 30 Mei 2011

Abu Habib Muda Seunagan dan Sosok Ulama-Pejuang

Jakarta-Aceh tak pernah kering dari darah pejuang. Salah seorang diantaranya Abu Habib Muda Seunagan, sosok kharismatis dari Pantai Barat. Selain seorang ulama yang dihormati, dia juga pejuang yang disegani. Ia wafat di Desa Peuleukung, Seunagan Barat, Kabupaten Nagan Raya, 14 Juni 1972 dan dikebumikan di samping Masjid Jamiek Abu Habib Muda Seunagan. Berkat jasanya dalam perang keme3rdekaan, Pemerintah RI menganugerahkannya “Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama.”
Kisah perjuangan dan pengaruh Habib Seunagan dilukiskan dengan detil dalam buku “Abu Habib Muda Seunagan dan Thariqat Syattariyah,” ditulis Tengku Sammina Daud, penerbit Karya Sukses Sentosa 2009. Buku setebal 254 halaman ini dibedah secara khusus oleh dua pembicara, yakni Masdar Farid Masudi (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama—PBNU) dan Prof Syahrizal (Pembantu Rektor IV IAIN Ar-Raniry Banda Aceh) dengan moderator Mukhlas Syarkum, di Kantor PBNU Jakarta, Selasa (10/11). Hadir dalam acara bedah buku itu mantan gubernur Aceh Prof Syamsuddin Mahmud dan sejumlah tokoh Aceh lainnya.
Abu Habib Muda Seunagan yang mempunyai nama asli Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad Yasin juga seorang guru atau mursyid Thariqat Syattariah. Thariqat ini pada awalnya dibawa masuk ke Aceh oleh ulama Abdurrauf Asyingkili atau Syiah Kuala. Habib juga penerima anugerah “Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama” yang diserahkan pada masa Presiden BJ Habibie, atas peran dan sepak terjangnya dalam perang kemerdekaan, baik masa pendudukan Jepang, maupun saat agresi militer I dan II oleh Belanda.
Salah satu kisah yang direkam buku ini adalah ketika Habib mengirim 160 personil Lasykar Jihad dalam peperangan di Sidikalang Tapanuli Utara, pada masa agresi militer II. Lasykar Jihad merupakan pasukan yang ia bentuk yang terdiri dari murid-muridnya yang terlatih dan terpilih. Habib sendiri yang membentuk pasukan tersebut untuk menghadapi tentara Belanda.

Habib Seunagan juga menggunakan cerita “Hikayat Perang Sabil” karya Tengku Syekh Muhammad Pantee Kulu (lahir tahun 1836 M di Desa Pante Kulu Kumukiman Titeu Kecamatan Keumala Pidie) sebagai pemantik api perjuangan. “Sebelum pasukannya berangkat ke medan perang, terlebih dahulu dikisahkan tentang Hikayat Perang Sabil,” demikian antara lain yang tertulis dalam buku tersebut.
Buku itu mengisahkan keterlibatan dan kepeloporan Abu Habib Seunagan membentuk “Pagar Desa” di daerah-daerah yang menjadi basis para pendukungnya. Bersama dengan para pengikutnya, Abu Habib Muda Seunagan menyatakan setia berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bentuk komitmen terhadap NKRI, Habib membentuk pasukan tempur yang terdiri dari para pendekar pedang yang selalu siap siaga menjalankan perintah. Sehingga, suatu ketika terjadi perlawanan antara pasukan pro NKRI pimpinnan Abu Habib Muda Seunagan dengan kelompok yang menentang NKRI.
Atas jerih payah dan ketulusan beliau pula akhirnya Abu Habib Muda Seunagan dipanggil ke Istana Negara oleh Bung Karno. Pertemuan yang akrab dan hangat tersebut ibarat bapak dan anak yang sudah lama tidak berjumpa. Bung Karno sebagai sosok yang lebih muda dan sebagai representasi figur umara’ meminta nasehat dan masukan kepada Habib Muda Seunagan dalam merumuskan dan mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan konflik di Aceh. Abu Habib Muda Seunagan menyarankan agar dalam menyelesaikan masalah Aceh pemerintah pusat lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan dan bukan menggunakan cara-cara kekerasan.(fik).Serambi Indoesia : Fri, Nov 13th 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar