Minggu, 29 Mei 2011

CONTOH PROPOSAL "EKSISTENSI DAN IMPLEMENTASI HUKUM HUMANITER DI INDONESIA "

Oleh : Said Syahrul Rahmad Ali

A. LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN.
            Pada zaman dahulu perang memang merupakan suatau pembunuhan yang begitu besar-besaran  antara kedua belah pihak atau lebih yang berperang. Pembunuhan besar-besaran seperti ini hanya sebagai salah satu bentuk perwujudan dari pada naluri dengan tujuan untuk mempertahankan diri. Sejarah perang dapat dikatakan bahwa sangat mendekati tuanya dengan sejarah umat manusia.  Ini dapat di lihat bahwa selama 3400 tahun umat manusia hanya menikmati 250 tahun perdamaian, karena naluri untuk mempertahankan diri kemdudian membawa keinsyafan dengan berperang tanpa memperhatikan batas-batas sehingga melanggar dan merugikan umat manusia. Dan kecemasan akan pembalasan yang didasarkan atas penyelamatan diri. Kemudian mulailah orang membuat pembatasan-pembatasan dalam berperang. Salah satu bentuk dari pembatasan itu orang sudah memulai merancangkan ketentuan-ketentuan yang akan mengatur perang antara bangsa-bangsa.

            Ketika  saat hukum internasional telah maju tulisan-tulisan mengenai hukum perang juga telah banyak di tulis oleh ahli hukum. Sebagai salah satu contoh adalah adanya “azas dasar dari pada hukum perang” atau “azas perikemanusiaan” yang di nyatakan dalam “ contract social”. Azas ini dirumuskan oleh J.J. Rousean. Kemudian contoh lainnya dapat juga di lihat dengan adanya peraturan-peraturan mengenai hukum perang di India yang di kenal dengan “Ceritera Mahabharata dan Manu”.

            Mochtar Kusumaatmadja, juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apa bila   perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.

            Menurut sejarah hukum humaniter internasional juga dapat di temukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan hukum humaniter baru di mulai pada abad ke-19. Sejak itulah Negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis yang berdasarkan pengalaman-pengalaman atas peperangan modern. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional. Sejumlah Negara di dunia juga telah  memberikan berbagai sumbangan dan juga telah menyetujuinya antara lain, Indonesia, Malaysia dan Singapore.
            Indonesia juga telah lama memulai focus dan perhatian terahadap hukum humaniter karena di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga muncul pemberontakan dari kelompokelompok tertentu, misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan kelompok pemberontakan yang ada di provinsi Papua. Pemerintah telah melakukan berbagi program agar hukum humaniter ini dapat di terapkan di Indonesia misalnya : ada Komanas HAM sebagai sarana untuk memproseskan apabila ada pelanggaran dalam peperangan, ada juga aturan yang materil yang tertuang dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tidak hanya itu. Pemerintah juga membuat aturan formilnya agar aturan yang materil dapat di implementasikan hal ini dengan adanya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga membentuk tim pemantau terhadap proses perdaiman di Aceh pasca perdamaian antara pemerinatah republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.

            Namun terlepas dari itu, Indonesia tergolong Negara yang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusai atau hukum humaniter pada saat mempertahankan Negara kesatuan dari para pemerontak khususnya di provinsi Aceh. Menurut, Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh (PPA) yang dibentuk oleh Komnas HAM mengatakan bahwa : Tim menemukan indikasi adanya pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar kewajaran dan pelecehan seksual. Kasus pembunuhan di luar kewajaran adalah kasus penembakan terhadap sekelompok pekerja tambak dan di antara korbannya ada anak-anak. Sedangkan kasus pelecehan seksual, pelakunya di indikasikan sebagai anggota Brimob yang terjadi pada 23-25 Mei 2003. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak diberlakukannya darurat militer di Aceh, telah menimbulkan korban jiwa, tidak terkecuali TNI dan masyarakat sipil. Namun demikian adalah fakta bahwa TNI sudah berusaha semaksimal mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa masyarakat sipil antara lain dengan cara melokalisir dan memisahkannya dengan GAM, tetapi jatuhnya korban tetap tidak bisa dihindari. Disamping itu, tidak sedikit pula jatuhnya korban masyarakat sipil, fakta sebenarnya hal tersebut dilakukan oleh GAM adan aparat keamanan TNI/Polri.

            Pelanggaran juga terjadi di desa Beutong Ateuh Kecamatan Beutong kabupaten Aceh Barat yang sekarang sudah masuk dalam wilayah hukum kabupaten Nagan Raya setelah terjdi pemekaran dengan kabupaten Aceh Barat. Tragedi terjadi pada hari minggu tanggal 22 juli tahun 1999 yang di kenal dengan tragedi “Teungku Bantakiyah”. Jumlah korban yang di temukan di kuburan sebanyak 30 orang, di Krueng Beutong 8 orang, dan di 7 kilometer jalan arah Takengon sebanyak 20 orang. Total korban yang tewas sebanyak 59 orang.

            Dari beberapa kasus di atas bahwa terjadinya pelanggaran tersebut disebabkan kurangnya implementasi hukum humaniter atau kode etik dalam berperang dan menghadapi musuh dalam berperang atau pada saat akan berperang dan setelah perang terjadi.

B. RUMUSAN MASALAH.
            Berdasarkan uraian-uraian di atas maka permasalahan yang akan di teliti adalah :
  1. Bagaimana Implementasi hukum humaniter  di Indonesia ?
  2. Faktor apa yang menyebabkan sehingga hukum humaniter tidak dapat di terapkan ?
  3. Faktor apa yang menyebabkan jatuhnya korban, masyarakat sipil pada khususnya ?
  4. Perlindungan hukum terhadap tahanan perang dan orang yang di guga terlibat dalam pemberontakan ?

C. RUMUSAN HIPOTESIS.
            Rumusan hipotesisnya antara lain sebagai berikut :
  1. Jika hukum humaniter benar-benar di terapkan, kemungkinan tidak ada korban masyarakat sipil.
  2. Korban tidak hanya tahanan perang saja, melainkan juga masyarakat biasa.
  3. Pihak keamanan TNI/Polri dan GAM tidak berperang secara professional seperti yang di atur dalam kode etik perang.
  4. Munculnya terror meneror terhadap masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan salah satu pihak, akan diteror oleh GAM apa bila tidak mau kerjasama dengannya dan akan diteror oleh TNI/Polri apabila juga tidak mau bekerja sama dengan pihaknya.

E. PENGUJIAN HIPOTESIS.
            Jika suatu aturan hukum yang sudah ada tidak betul-betul di terapkan atau dijalankan maka tujuan yang dicita-citakan tidak akan maksimal di dapat. Bahkan kadang-kadang hukum yang materil itu bisa-bisa akan hanya menjadi dokumen saja tanpa adanya implementasi yang jelas. Secara spesifik begitu juga dengan hukum humaniter yang ada di Indonesia, tidak akan terimplementasi tanpa adanya upaya  sistematis dan progress yang  dilakukan atau akan terus dilakukan agar tujuan yang di maksudkan didalam aturan materilnya dapat tercapai dengan maksimal.
           
            Walaupun aturan materilnya sudah tersusun secara sistematis tanpa implementasi secara professional maka tujuan yang dimaksudkan dan atau yang dicita-citakan juga akan jauh dari harapan. Apa bila di lapangan bekerja sesuai dengan kode etiknya, maka sasaran yang di targetkan pun tidak akan melenceng. Artinya tepat pada sasaran yang di cita-citakan.


F. TINJAUAN PUSTAKA.
            Didalam kepustakaan hukum internasional istilah hukum humaniter merupakan istilah yang di anggap relative baru. Istilah ini baru muncul sekitar tahun 1970-an, yang ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Selanjutnya, pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conclict. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat beberapa rumusan tentang pengertian hukum humaniter.
            Jean Pictet “ International Humanitarian Law in the Wide Sense is Constitutional Legal Provision, whether written and Customary, ensuring respect for Individual and his well being”
            Menurut rumusan yang diberikan Mochtar Kusumaatdja, hukum humaniter yaitu Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.
            Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencangkup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.
            Dengan dengan demikian, hukum humaniter internasional adalah seperangkat hukum karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Akan tetapi ini bukan berarti hukum humaniter melarang untuk berperang akan tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebudayaan konflik bersenjata di perbolehkan.  Oleh karena itu hukum humaniter merupakan bagian dari hukum internasional, maka penulis ingin menyebutkan sumber-sumber hukum internasional tersebut terdiri dari :
  1. Perjanjian  Internasional (International Convensions) baik yang bersifat umum atau khusus.
  2. Kebiasaan Internasional (International Custom)
  3. Prinsip-prinsip hukum umum (general Principles of Law)
  4. Putusan-putusan Pengadilan Internasional (Judicial decisions)
  5. Ajaran atau pendapat para ahli hukum dari berbagai Negara yang memiliki reputasi atau telah diakui kepakarannya (teachings of the most higly qualified publicists) yang dinyatakan sebagai sumber tambahan hukum international.

G. METODE PENELITIAN.
            Metode penelitian yang diguanakan adalah yuridis empiris dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian terhadap implementasi dari hukum humaniter di Indonesia, dalam hal ini yaitu di provinsi Aceh. Untuk mendapatkan bahan-bahan dan data dalam penelitian ini, maka dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Metode ini bertujuan agar bisa membandingkan dan melihat fakta-fakta yang di dapat antara penelitian lapangan dengan penelitian kepustakaan.
           
            Teknik pengumpulan data dalam penelitian lapangan dengan cara mewawancarai responden dan informal. Teknik ini akan dilakukan dalam bentuk tanya jawab lansung dengan responden melalui pertanyaan-pertanyaan yang di persiapkan. Cara seperti ini dilakukan agar mendapatkan data yang Primer. Sedangkan untuk mendapatkan data yang sekunder, akan dilakukan dengan studi kepustakaan untuk memperoleh konsep-konsep, teori-teori dan peraturan hukum yang berguna dalam penulisan ini serta berkaitan dengan masalah-masalah yang di bahas.




           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar