Minggu, 29 Mei 2011

LANDAS KONTINEN, PENYELESAIAN SENGKETA, PENCEMARAN LAUT, PELAYARAN DAN PENERBANGAN, ZEE DAN LAUT TERITORIAL

Oleh : Said Syahrul Rahmad Ali 
LAUT TERITORIAL

A.  Pengertian Laut Teritorial
Adapun difinisi dari laut territorial ini laut wilayah territorial adalah bagian dari perairan nasional, berupa suatu jalur laut, yang terletak sepanjang pantai dan ada di sebelah luar (di sisi laut) dari garis pangkal dan yang di batasi oleh batas luar laut wilayah. Atau bagian dari perairan nasioanal, berupa suatu jalur laut, di sepanjang pantai yang terletak  antara garis pangkal dan garis batas luar laut territorial.
Konferensi Den Haag pada tahun 1930 tentang Laut Teritorial telah sempat mengalami kegagalan, Namun kegagalan itu tidak dapat dikatakan gagal total karena konferensi ini juga telah memberikan ruang lingkup yang jelas tentang apa itu laut territorial sebagaimana diatur dalam pasal 1 dan 2 dari konvensi ini. Pasal 1 pasal tersebut mengatakan bahwa wilayah Negara pantai meliputi pula ruang udara di atas territorial demikian pula dasar laut dari pada laut territorial dan tanah dibawahnya. Ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 merupakan penegasan dari pada sifat sifat tiga dimensi dari pada laut territorial yang hingga waktu itu belum dinyatakan setegas demikian.

B.  Beberapa hak-hak Negara pantai di laut territorial
  1. Hak Lintas Damai.
Pasal 3 sampai dengan pasal 7 Konferensi ini menegaskan Hak lintas damai (innocent passage) kapal-kapal asing melalui laut territorial. Pasal-pasal ini selanjutnya menegaskan hak-hak dan kewajiban, baik dari pada Negara pantai maupun kapal yang lewat. Pasal 3 ayat 1 memuat ketentuan memgenai pengertian dari pada lintas (passage) dengan menetukan bahwa lintasan adalah berlayar melalui laut territorial, baik untuk melewati tanpa masuk ke dalam perairan pedalaman maupun untuk masuk ke perairan pedalaman demikian pula menuju laut bebas setelah meninggalkan laut pedalaman. Pengertian Lintas Damai diatur dalam ayat 2 dengan pengertian yang negative yaitu Suatu lintasan bukan merupakan lintas damai apabila kapal asing menggunakan laut territorial suatu Negara untuk melakukan perbuatan yang merugikan keamanan, ketertiban umum atau kepentingan kapal fiscal Negara tersebut. Pasal 4 menetukan bahwa Negara pantai tidak menghalang-halangi lintas damai kapal asing melalui laut territorial yang dalam melakukan lintas damai melalui territorial kapal selam diharuskan untuk lewat pada permukaan. Selanjutnya pasal 5 menetapkan bahwa adanya hak lintas damai kapal asing tidak mengurangi hak Negara pantai untuk mengambil segala tindakan yang di perlukan untuk mencegah terjadinya segala gangguan terhadap keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan fiscal. Yang harus ditaati oleh kapal asing dalam melaksanakan hak lintas damai     (pasal 6) antara lain yaitu :
  1. Peraturan-peraturan keselamatan pelayaran dan keamanan lalu lintas serta cobatage.
  2. Perlindungan perairan Negara pantai terhadap bahaya pencemaran yang mungkin disebabkan oleh lalu lintas kapal.
  3. Perlindungan sumber kekayaan laut.
  4. Perlindungan perikanan perburuan dan hak-hak serupa yang dimilki Negara pantai.
Menurut pasal 19 UNCLOS 1982 Lintas suatu kapal asing harus di anggap membahayakan kedamaian ketertiban atau keamanan Negara pantai apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan satu salah kegiatan sebagai berikut :
  1. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasioanal sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
  2. Setiap latihan atau praktek dengan senjata maca,m apapun.
  3. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
  4. Setiap perbutan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
  5. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer.
  6. Bongkar atau setiap komoditi mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, iimigrasi atau saniter Negara pantai.
  7. Setiap perbuatan pencemaran demnga sengaja clan parah yang bertentangan dengan konvensi ini.
  8. Setiap perbuatan perikanan dan kegiatan riset atau survey.
  9. Setiap perbutan yang bertujuan menganggu system komunikasi atau setiap fasilitas atau instalansi lainnya Negara pantai.
  10. Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan lansung dengan lintas.  
  1. Hak untuk membuat peraturan perundang- undangan Negara pantai yang     bertalian  dengan lintas damai.
            Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 21 UNCLOS 1982 yang menyatakan :
Negara pantai dapat membuat peraturan perundand-undangan sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang bertalian dengan lintas damai melalui laut territorial mengenai semua atau setiap hal :
  1. Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas Maritim
  2. Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainnya
  3. Perlindunga kabel, pipa laut dan konservasi kekayaan hayati laut
  4. Pencegaha pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai
  5. Pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan pengurangan dan pengendalian pencemarannya
  6. Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi
  7. Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi atau saniter Negara pantai
 Peraturan perundang-undangan demikian tidak berlaku lagi disain, kontruksi, pengawakan atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau stndar internasional yang diterima secara umum.negara pantai hanya mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut sebagai mana mestinya. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum.

  1. Hak untuk mengatur Alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut territorial.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 22 UNCLOS 1982 yang menyatakan, Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang dapat ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lalu lintas. Khususnya kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau barang atau barang lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada alur laut yang demikian. Dalam penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas menurut pasal ini, Negara pantai harus memperhatikan  :
  1. Rekomendasi organisasi internasioanal yang kmopeten
  2. Setiap alur yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional
  3. Sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu, dan
  4. Kepadatan lalu lintas
Negara pantai harus mencantumkan secara jelas alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian pada peta yang harus di umumkan sebagaimana mestinya.

  1. Hak untuk mengatur kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau  badan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun.
Ini di atur dalam pasal 23 UNCLOS 1982 yang menyatakan, Kapal asing bertenaga nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasioanal bagi kapal-kapal demikian.

  1. Hak perlindungan Negara pantai.
Hal ini di atur dalam pasal 25 UNCLOS 1982 yaitu, Negara pnatai dapat mengfambil langkah yang diperlukan oleh laut teritorialnya untuk mencegah  lintas yang tidak damai. Dalam hal kapal yang menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, negra pantai juga mempunyai hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke pwrairan pedalaman atau persingghan demikian. Negara pantai, tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata diantara kapal asing, dapat menangguhkan sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya lintas damai kapal asing apabila penagguhan demikian sangat diperluakan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan pelatihan senjata. Penagguhan demikan berlaku hanya setelah di umumkan sebagaimana mestinya.   
  
  1. Hak untuk mmengambil pengumutan yang dapat dibebankan pada kapal asing.
Landasanya di atur dalam pasal 26 yang menyatakan, Tidak ada pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing hanya karena melintasi laut territorial. Pungutan dapat dibebankan pada kapal asing yang melintasi laut territorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kapal tersebut. Pungutan ini harus di bebankan tanpa diskriminasi.

C.  Kewajiban Negara pantai di laut teritorialnya.
      Kewajiban ini di atur dalam pasal 24 yang menyatakan :
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut territorial kecuali sesuai dengan ketentuan konvensi ini. Dalam penerapan konvensi ini atau setiap perjanjian perundang-undangan yang dibuat sesuai konvensi ini Negara pantai khususnya tidak akan :
  1. Menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis beraikat penolakan atau pengurangan hak lintas damai.
  2. Menagadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara dimanapun atau terhadap kapal yang mengangkut muatan ke dari atau atas nama Negara manapun.
Negara pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketauhinya.
LANDAS KONTINEN

A.  Pengertian Landas Kontinen.
Menurut UNCOLS 1982 landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut territorial yang merupakan kelanjutan lamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen atau sampai jarak 200 mil laut di ukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Kalau kita lihat dari pengertian ini berbeda dengan pengertian yang terdapt dalam konvensi Genewa 1985 dimana dalam konvensi Jenewa batas terluar itu sampai kedalaman 200 meter dan kriteria eksploitabilitas dig anti oleh kriteria geologis serta kriteria jarak 200 mil batas.

B.  Hak-hak Negara pantai atas landas kontinean.
            Mengenai hak Negara pantai atas landas kontinen memerlukan sekedar uraian karena hak-hak kedaulatan untuk melakukan ekploirasi dan exploitasi kekayaan alam merupakan suatu konsep baru. Hak-hak Negara pantai sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 konvensi ke IV, merupakan kompromi antara pendirian pihak yang menghendaki pengakuan kedaulatan Negara pantai atas landas kontinen deangan pihak yang hanya mau mengakui hak-hak lebih terbatas. Bahwa hak-hak kedaulatan untuk ekploirasi dan eksploitasi tidak sama dengan kedaulatan penuh Negara pantai, jelas tamapak apabila di hubungkan dengan pasal 3. Pada pasal 3 juga menyatakan bahwa hak-hak Negara pantai atas landas komtinen tidak tergantung dari okkupasi atau suatu claim yang dinyatakan secara tegas mengahiri suatu keraguan yang hingga kini meliputi persoalan dataran kontinen (continental shelf).  
            Hak-hak Negara pantai atas landas kontinen harus mematuhi ketentuan yang ada dalam pasal 4 yang menegaskan, bahwa dalam melaksanakan haknya untuk melakukan ekpolirasi landas kontinen dan ekploitasi dari pada kekayaan alam di dalamnya, Negara pantai tidak boleh menghalang-halangi pemasangan kabel-kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar laut landas kontinen. Kemudian dalam pasal 5 juga menjelaskan yang mana pelaksanaan hak-hak Negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengakibatkan gangguan terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan kekayaan hayati laut dan tidak boleh pula menganggu penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya yang dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan ( ayat 1).
  
ZONA EKONOMI EKLUSIF

A.  Pengertian Zona Ekonomi Eklusif.
            Seperti yang terdapat dalam UNCLOS 1982 Zona Ekonomi Eklusif adalah Suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan. Di mana hak-hak yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, di atur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dari konvensi.
            Zona Ekonomi Eklusif mempunyai lebar yang tidak boleh melebihi dari 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial di ukur.Rezim tentang hukum internasioanal telah mendapat respon dari masyarakat internasional hal itu dapat kita lihat bahwa rezim hukum internasional tentang ZEE yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasioanal dimaksudkan untuk :
  1. Melindungi Negara pantai dari bahaya kemungkinan dihabiskannya sumber daya alam hayati didekat pantainya oleh kegiatan Negara-negara lain dalam mengelola perikanan berdasarkan rezim laut bebas.
  2. Melindungi kepentingan-kepentingan Negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta  penelitian ilmiah kelautan dengan upaya memanfaatkan sumber daya alam di zona tersebut.
 B.  Hak-hak Negara Pantai di ZEE.
            Hak-hak yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai dalam ZEE, antara lain :
  1. Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati dari perairan atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut.
  2. Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan konvensi ini berkenaan dengan :
ü      Pembuatan dan pemakaian pulau buatan instalasi dan bangunan
ü      Riset ilmiah kelautan dan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
3.   Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam konvensi ini.
        Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini dlam ZEE, Negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

Hak-hak untuk membuat pulau-pulau buatan, instalasi dan bangungan-bangunan di ZEE.
            Di ZEE Negara pantai mempunyai hak ekslusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan mengatur pembangunan operasi dan penggunaan :
  1. Pulau buatan
  2. Instalasi dan bangungan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 dan tujuan ekonomi lainnya.
  3. Instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut.
Hak penegakan peraturan perundang-undangan Negara pantai.
Negara pantai dapat melaksanakan hak kedaulatannya untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE mengambil tindakan demikian termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap, melakukan proses peradilan sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
Kapal-kapal yang di tangkap beserta awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan sejumlah uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencangkup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antar Negara- Negara yang bersangkutan atau setiap hukuman badan lainnya. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.

PENYELESAIAN SENGKETA

A.  Pendahuluan
            Prosedur penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan penerapannya dengan tepat dan efisien sangat penting bagi perjanjian-perjanjian internasioanal. Namun hal ini tidak berlaku bagi konvensi hukum laut PBB. Bukan hanya sulit dalam memahami ketentuan-ketentuannya  tapi juga karena adanya pasal-pasal yang dapat ditafsirkan bermacam-macam. Prinsip dasar dalam menyelesaikan sengketa itu bebas artinya boleh memilih melalui berbagai cara sendiri asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum internasional yang ada.
            Langkah awal dalam menyelesaikan suatu sengketa adalah melalui perjanjian. Karenanya pasal 283 menekankan perlunya bertukar pandangan mengenai cara-cara bagaimana sengketa itu diselesaikan. Suatu Negara yang bersengketa mengenai penafsiran dan penerapan konvensi, bias juga mengundang pihak atau para pihak lain untuk menyerahkan sengketa itu kepada konsiliasi sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Annex V konvensi (pasal 284)

B. Prosedur yang Wajib untuk Mencapai Suatu Keputusan Mengikat.
Ketika mendatangani, meratifikasi, atau mengikat diri kepada konvensi atau beberapa waktu kemudian setelah itu, Negara-negara dapat memilih satu atau lebih cara penyelesaian sengketa :
  1. Mahkamah Internasional Hukum Laut
  2. Mahkamah Internasional
  3. Mahkamah Arbitrase
  4. Untuk beberapa sengketa tertentu, Arbitrase Khusus (pasal 296).         

Apabila suatu Negara tidak memilih cara penyelesaian maka Negara itu dianggap telah menerima menerima mahkamah Arbitrase sebagaimana dalam poin 4 di atas. Para pihak dapat pula mengikuti prosedur yang berbeda (pasal 287 ayat 4 dan ayat 5). Keputusan pengadilan atau mahkamah, sebagaimana diatur dalam pasal 287 bersifat final dan mengikat (pasal 296). Keputusan-keputusan itu didasarkan kepada konvensi dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lain. Perkara atau sengketa tersebut dapat pula di putuskan secara ex aequo et bono apabila para pihak menyetujuinya (pasal 293) dan, atas permintaan Negara bendera kapal, dapat memerintah pembebasan kapal atau awak kapalnya yang ditahan oleh Negara lain (pasal 292).
Setiap sengketa mengenai apakah pengadilan atau mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap sesuatu sengketa, harus diputuskan oleh pengadilan atau mahkamah itu sendiri   ( pasal 288 ayat 4 ). Ketentuan terahir ini penting karena konvensi menyampingkan beberapa kategori sengketa tertentu, yaitu :
a.       Pasal 297 menetapkan bahwa sengketa-sengketa mengenai pelaksanaan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi oleh suatu Negara pantai harus tunduk kepada prosedur-prosedur penyelesaian wajib yang mengikat untuk kasus-kasus khusus tertentu :
ü      Tuduhan Negara pantai tentang pelanggaran kebebasan oleh Negara lain didlam ZEEnya sesuai dengan pasal 58 knvensi.
ü      Tuduhan Negara lain dalam melaksanakan kebebasannya bertentangan dengan hak-hak Negara pantai di ZEE.
ü      Tuduhan pelanggaran oleh Negara pantai terhadap peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan internasional untuk perlindungan lingkungan laut (pasal 297 ayat 1).
b.      Terlepas dari pengecualian terhadap prosedur wajib untuk penyelesaian sengketa, suatu Negara juga dapat membuat pengecualiannya sendiri. Pasal 298 mengizinkan Negara-negara untuk tidak menerima prosedur yang menyangkut :
ü      Sengketa-sengketa yang menyangkut pasal 15, 74 dan 83 ( delimitasi laut territorial, ZEE, dan landas kontinen antar Negara yang berdekatan atau berhadapan)
ü      Sengketa mengenai aktifitas militer dan,
ü      Sengketa-sengketa yang dibahas oleh dewan keamanan PBB. Apabila sengketa-sengketa yang terdapat pada point 1 di atas dikesampingkan maka setiap sengketa yang timbul setelah konvensi berlaku, harus diserahkan kepada konsiliasi setelah jangka waktu tertentu.

PENCEMARAN LAUT

A. Pendahuluan.
            Dalam konvensi 1985 tentang laut lepas, hanya ada dua ketentuan tentang masalah pencemaran laut, sedangkan konvensi yang baru ini meuat suatu hal tersendiri yang berisikan pasal 45 pasal. Meskipun demikian, ketentuan-ketentuan ini tidak begitu banyak menetapkan tindakan-tindakan konkret yang harus dilakukan, tetapi lebih bertujuan untuk menciptakan suatu kerangka guna melaksanakan perangkat-perangkat konkret yang dapat dilaksanakan tersebut. Keadaan umum ketentuan-ketentuan itu tampak pada pasal 237 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan konvensi yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan laut tidak mengenyampingkan kewajiban-kewajiban Negara-negara melalui konvensi-konvensi dan persetujuan-persetujuan khusus.
            Perundingan-perundingan tentang perlindungan lingkungan laut berlansung sangat berlarut-larut. Terdapat perbedaan pendapat yang tajam mengenai masalah yurisdkisi Negara pantai atau Negara pelabuhan terhadap kapal-kapal asing. Bnyak Negara pantai menuntut pemberian yurisdiksi atas perairan mereka (termasuk ZEEnya) untuk menetapkan peraturan-peraturan tentagng pencemaran laut oleh kapal, dan juga mereka harus diberi yurisdiksi untuk memaksakan pentaatan terhadap peraturan-peraturan tersebut.

B.  Pencemaran laut selain oleh kapal.
            Penetapan Peraturan.
             Pasal 207-212 menyangkut berbagai bentuk pencemaran laut dan merinci Negara-negara mana yang diwajibkan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum :
  1. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah pencemaran lingkungan laut dari sumber didarat. Dalam pelaksanaannya mereka wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan, standar-standar, praltewk-praktek dan prosedur –prosedur internasional yang telah disetujui. Negara-negara selanjutnya diwajibkan berusaha sungguh-sungguh nuntuk menetapkan peraturan-peraturan, standar-standar dan prosedur-prosedur internasional (pasal 207).
  2. Negara-negara pantai harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah pencemaran laut yang timbul dari kegiatan-kegitan didasar laut yang tunduk kepada yurisdiksi mereka dan dari pulau-pulau bauatan yang berada dibawah yurisdiksi mereka dan dari pulau-pulau buatan yang berada dibawah yurisdiksi mereka. Efektifitas tindakan-tindkan tersebut tidak boleh lebih rendah dari ketentuan-ketentuan, standar-standar praktek-praktek dan prosedur-prosedur internasional. Negara-negara wajib menetapkan ketentuan-ketentuan internasioanal tersebut dan lain sebagainya (pasal 208)
  3. Otorita dasar laut internasional harus menetapkan peraturan-peraturan untuk mencegah,  mengurangi dan mengendalikan pencemaran dan bahaya-bahaya lain terhadap lingkungan laut yang timbul dari eksplorasi dasar samudra dalam (pasal 145 dan 203).
  4. Negara-negara diwajibkan untuk menetapkan peraturan perundang-udangan mengenai pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh pembuangan (dumping), sebagaimana yang diartikan oleh pasal 1 konvensi. Peraturan perundang-undangan tersebut harus menjamin bahwa pembuangan tidak dilakukan tanpa izin dari suatu Negara. Negara-negara selanjutnya harus berusaha untuk menetapkan ketentuan-ketentuan, standar-standar, praktek-praktek dan prosedur-prosedur global dan regional tentang pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan.  Pembuangan di laut territorial dan ZEE atau dilandas kontinen harus dengan izin terlebih dahulu dari Negara pantai (pasal 210).
  5. Dengan tujuan untuk mencegah pencemaran laut melalui atmosfir, Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap ruang udara dibawah kedaulatannya, terhadap kapal-kapal yang mengibarkan benderanya dan pesawat udara yang terdaftar di negaranya. Di sini kembali Negara-negara untuk berusaha menetapkan ketentuan-ketentuan standar-standar, praktek-praktek dan prosedur-prosedur global dan regional (pasal 212).
C. Pencemaran oleh kapal.
            Penetapan Peraturan
                  Negara-negara bendera harus menetapkan peraturan perundang- undangan bagi pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran oleh kapal-kapal yang berkebangsaan mereka. Tindakan-tindkan tersebut sedikitnya harus sama efektifnya dengan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang diterima secara umum.                                                                                                                             Mengenai yurisdiksi khusus Negara pantai atau Negara pelabuhan ditetapkan bahwa:
  1. Suatu Negara, baik sendiri ataupun bekerja sama dengan Negara lain, menetapkan persyaratan-persyaratan khusus untuk pencegahan pencemaran, sebagai suatu syarat pemberian akses ke salah satu pelabuhannya, ke perariran pedalamannya atau terminal lepas pantainya.  Negara tersebut harus mengumumkan pesyaratan-persyaratan tadi dan harus menyampaikannya kepada organisasi internasional yang kompeten ( antara lain : Internasional Maritime Organization). Kewenangan ini secara tegas dinyatakan sebagai tanpa menyampaikan hak lintas damai ( pasal 211 ayat 3).
  2. Di laut teritorialnya, suatu negara pantai dapat menetapkan peraturan perundang-undangan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut dari kapal asing,  walaupun peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh menghalangi hak lintas damai (pasal 211 ayat 4)
  3. Kewenangan suatu negara pantai di ZEE lebih terbatas. Untuk tujuan pelaksanaan atau penegakan, negara tersebut dapat menetapkan peraturan perundang-undangan sepanjang sesuai dan merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang diterima secara umum (pasal 211 ayat 5).
PELAYARAN DAN PENERBANGAN

A. Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial.
            Apabila suatu Negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap perairan pedalamannya, kapal-kapal asing didalam perairan tersebut tunduk kepada yurisdiksi Negara pantai. Ini berarti bahwa Negara pantai mengatur pelayaran diperairan tersebut dan sebagai akibatnya Negara pantai mempunyai hak untuk membatasi atau bahkan melarang pelayaran diperairan tersebut, walaupun Negara pantai diharapkan akan memberikan pemberitahuan yang memadai mengenai tindakan-tindakan tersebut. Bagaimanapun diperairan pedalaman yang terbentuk sebagai hasil penerapan system garis pangkal lurus, terdapat kekecualian terhadap hal ini dimana hak lintas damai melalui laut wilayah (yang terbentuk) tetap berlaku (pasal 8 ayat 2). Kapal-kapal perang asing juga merupakan suatu kekecualian, karena yurisdiksi Negara pantai tidak berlaku diatas kapal-kapal tersebut, dan hal yang sama berlaku terhadap kapal-kapal milik Negara lainnya yang dioperasikan untuk tujuan-tujuan non-komersial, walaupun tidak sepenuhnya jelas kapal-kapal apa yang dimaksud oleh gagasan ini. Pengecualian yang disebutkan terahir ini terhadap yurisdiksi Negara pantai berasal dari prinsip umum hukum internasional bahwa tidak satupun Negara mempunyai yurisdiksi terhadap suatu Negara lainnya.
         Pasal 17 memberikan hak lintas damai kepada  semua kapal yang melalui laut wilayah sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi. Ketentuan itu antar lain :
Konvensi memberi difinisi tentang konsep ‘lintas’ dan ‘damai’. Lintas termasuk baik melintasi laut tertorial tanpa memasuki perairan pedalaman (atau berhenti di pangkalan laut atau fasilitas pekabuhan di luar perairan tersebut), dan (melintasi) laut territorial ke atau dari perairan pedalaman, atau berhenti di pangkalan laut atau fasilitas pelabuhan diluar perairan tersebut. Lintas termasuk berhenti dan membuang sauh, tetapi hanya sepanjang ada hubungannya dengan pelayaran biasa atau dipandang perlu karena ‘force majeure’ atau keadaan darurat (pasal 18). Pasal 19 menyatakan bahwa lintas adalah dami sepanjang sepanjang tidak merugikan perdamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai, dan selanjutnya pasal ini memberikan suatau daftar lengkap tentang kegiatan-kegiatan tidak damai. Menurut pasal 20, kapal-kapal selam diwajibkan berlayar dipermukaan dan menunjukakan bendera mereka. Sebagaiman telah ditetapkan dalam pasal 24. Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai, namun Negara tersebut dapat melakukannya bila lintas tidak damai, dan dapat juga menangguhkan hak lintas damai didaerah-daerah tertentu dari laut wilayahnya bila penagguhan itu penting untuk perlindungan keamanannya (pasal 25). Kapal-kapal dagang  yang melaksanakan hak lintas damai pada prinsipnya tidak tunduk kepada yurisdiksi Negara pantai, tetapi konvensi menetapkan sejumlah pengecualian terhadap prinsip ini (pasal 27 tentang yurisdiksi criminal dan pasal 28 tentang yurisdiksi perdata). Sekali lagi kapal-kapal perang dimasukkan kedalam suatu kategori tersendiri, mereka tidak pernah tunduk kepada yurisdiksi Negara pantai, meskipun Negara itu dapat mewajibkan mereka untuk meninggalkan laut tertorialnya dan (dalam pada itu) Negara bendera bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kapal-kapal peranganya (pasal 29-32).

B. Selat-selat dan kepulauan
            Ketentuan-ketentuan khusus mengenai selat-selat berlaku bagi selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang terletak antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian lain dari laut lepas atau ZEE, apabila tidak rute alternatif yang sama fungsinya (pasal 37 dan 36). Pada selat-selat demikian, kapal-kapal dan pesawat udara dapat menikmati hak lintas transit dalam bentuk kebebasan pelayaran dan penerbangan hanya untuk melintasi selat secara terus menerus dan cepat. Hak lintas transit tidak berlaku terhadap selat-selat internasioanal yang terletak anatara sebuah pulau yang merupakan bagian dari suatu Negara pantai dan daratan utamanya apabila pada sisi kearah laut dari pulau itu ada rute yang sama fungsinya (pasal 38),  walaupun dalam hal demikian tentu saja masih terdapat hak lintas damai (pasal 45). Negara yang berbatasan dengan selat tidak dapat mengahalangi atau menangguhkan lintas transip (pasal 44) Kapal-kapal dan pesawat udara yang melaksanakan lintas transit harus lewat dengan cepat, harus menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap Negara yang berbatasan dengan selat, menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus lansung dan secepat mungkin dan harus menaati peraturan-peraturan internasional yang telah diterima (pasal 39). Bagaimanapun suatu negara yang berbatasan dengan selat dapat mewajibkan kapal untuk mengikuti rute-rute khusus untuk lintasnya melalui selat, walaupun rute-rute tersebut harus sesuai dengan peraturan-peraturan internasional yang diterima umum dan terlebih dahulu harus disampaikan kepada organisasi internasional yang berwenang (pasal 41). Yang dimaksudkan dalam ketentuan terahir ini adalah ‘international maritime organization’ sebagai tambahan, Negara tersebut dapat membuat peraturan perundang-undangan tentang kapal-kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas transit (pasal 42).

                                             
 DAFTAR PUSTAKA
Kusumaatmadja, Mochtar.  Hukum Laut Internasional. 1987. PT.karya Nusanntara cet
             Pertama : Bandung.
Koers, Albert w. Konvensi PBB Tentang Hukum Laut. 1994. Gajah Mada Press :
            Yogyakarta.
Subayo, P. Joko. Hukum Laut Indonesia. 2002. Rineka Cipta :Jakarta.
UNCLOS 1982














Tidak ada komentar:

Posting Komentar