Minggu, 29 Mei 2011

MENUNGGU KEBIJAKAN PERTANIAN PRIORITAS

Oleh : Said Syahrul Rahmad Ali

Berbicara masalah pertanian atau perkebunan di Aceh menjadi hal yang sangat menarik dan  urgen untuk di bicarakan. Pemerintah, akademisi, masyarakat dan mahasiswa juga ikut andil secara lisan maupun tulisan mendiskusikan ini. Ada dua cara yang sering dilakukan yaitu dengan cara diskusi dan menulis  dengan tujuan menemukan solusi-solusi terbaik. Sebagai contoh  opini Alja Yusnadi “Ayo Bertani”! serambi Indonesia (1/3/2011), opini Fauzi Umar “Membangun Pertanian Aceh” Serambi Indonesia (26/2/2011) dan opini Ir. Suryadi Insya, M.Si tentang pentingnya “Food Estate” di Aceh, Serambi Indonesia (23/2/2011) tulisan mereka ini sangat menarik, dengan menawarkan  beberapa solusi yang berbeda. (baca harian Serambi Indonesai seperti disbutkan diatas).

Sektor pertanian dan perkebunan sangat menjanjikan untuk kemakmuran rakyat. Sektor ini bisa menghasilkan  berbagai bahan pangan mulai dari makanan pokok seperti padi, jagung, dan produk agroindustri tumbuhan lainnya. Menurut Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah)  sektor pertanian menjadi salah satu pilihan utama yang dapat dijadikan dasar untuk menjadi basis kekuatan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Untuk mencapai  pekonomian yang maju tentu dengan adanya produktifitas dan program-program pertanian yang efektif agar bisa menghasilkan pangan. Baik yang dikerjakan pemerintah sebagai stakeholder, petani, pekebun dan pengrajin pertanian lainnya.
Aceh secara umum memiliki potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan, seperti lahan untuk tanaman padi, karet, coklat dan sawit. Sawah yang terbentang luas dikenal di Pidie, Gayo Lues popular dengan  kopinya,  Aceh Selatan identik dengan petani Pala dan Aceh Barat memiliki kebun karet yang luas. Sedangkan Nagan Raya lebih di kenal dengan tiga sektor lahan pertanian. Dataran tinggi Beutong Ateuh cocok untuk tanaman nilam, dataran rendah seunagan dengan lahan persawahannya, dataran tinggi Kuala dan Darul Makmur mempunyai lahan perkebunan sawit dan coklat.
Sebesar 85 persen penduduk Nagan Raya berprofesi sebagai petani dan buruh perkebunan, seperti Sawet, karet, padi, pinang dan kelapa alam,  selebihnya, beprofesi sebagai pegawai negeri dan wiraswasta. Sektor ini khususnya perkebunan selama ini telah memberikan andil yang sangat besar bagi kemakmuran masyarakat dan pendapatan asli daerah.
Secara autentik harus kita akui bahwa, Nagan Raya berhasil meraih penghargaan tingkat nasional dalam program pengembangan usaha agribisnis (PUAP) dari Kementerian Pertanian pada tahun 2010. Kegiatan ini merupakan bentuk keseriusan dan komitmen gabungan dari beberapa kelompok tani.
Kabupaten Nagan Raya sudah terkenal sebagai penghasil kelapa sawit terbesar sejak Hindia-Belanda di wilayah Barat – Selatan provinsi Aceh. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih eksisnya dua perusahaan besar pengolahan sawit yang menjadi minyak mentah (CPO) yaitu di Kecamatan Darul Makmur dan Kuala.
Namun sayangnya kita sebagai masyarakat tidak berhak untuk bangga dengan luasnya perkebunan sawit tersebut karena itu bukan milik rakyat atapun pemerintah melainkan milik perusahaan swasta. Masyarakat hanya dijadikan buruh pekerja perusahaan yang mendapat gaji harian dengan upah pas-pasan. Begitu juga di pertanian sawah, lahan persawahan tidak produktif lagi,  bahkan sudah dimanfaatkan secara non agraris. Ratusan hektare (Ha) padi masyarakat tidak bisa panen (Serambi Indonesia 16/8/2010). Perkebunan karet dan coklat juga mengalami hal yang sama, mayoritas usaha di bidang pertanian/perkebunan atas dasar inisiatif usaha masyarakat itu sendiri. Yang dijadikan sebagai tempat mencari nafkah dalam membiayai hidup keluarga.
Tentunya disini ada beberapa persoalan mendasar dan pertanyaan yang muncul dibenak kita, kenapa ini bisa terjadi.  Dengan menganalisis beberapa temuan team pansus DPRK Nagan Raya. Maka akan ada beberapa faktor yang menyebabkan sehingga mandegnya pembangunan pertanian seperti dijelaskan diatas. Pertama, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap program pangan yang sedang dijalankan, misalnya  pemalsuan bibit sawit yang disalurkan kepada masyarakat (Serambi Indonesia 14/9/2010) dan adanya dugaan serobotan kebun masyarakat oleh tiga perusahaan tertentu (Serambi Indonesia 29/5/2010) serta bantuan pupuk yang di distribusikan dinas harus dibayar lagi (Serambi Indonesia 27/9/2010).  Kedua, adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan traktor tangan bantuan untuk kelompok tani  (Serambi Indonesia 20/12/2010) dan banyaknya iri gasi yang rusak ( Serambi Indonesia 31/5/2010) serta banyaknya proyek fiksi untuk pembangunan perairan terbengkalai akibat ditinggalkan pihak rekanan. Disamping kedua faktor diatas, terindikasi adanya penjualan raskin kepada masyarakat (Serambi Indonesia 25/9/2010).
Sehingga program-program pertanian (ketahanan pangan) sebahagian besar dinilai gagal, bahkan ada yang sama sekali tidak bermanfaat bagi rakyat. Lebih banyak mudarat dari pada kemamfatannya. Ini sangat menyakitkan hati rakyat, khususnya masyarakat yang berprofesi sebagai patani dan pekebun. Seharusnya para penguasa malu kepada masyarakat, karena “mereka” abdi Negara yang seharusnya mengabdi kepada bangsa dan Negara untuk kepentingan rakyat. Abdi Negara harus bisa menempatkan diri sebagai public service (pelayan bagi rakyat).
Arah kebijakan pembangunan pertanian yang berkesinambungan dan bermanfaat bagi petani sangat dinanti-nantikan oleh rakyat. Perubahan kearah yang lebih positife tentunya ada proses-proses yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Dengan harapan sektor pertanian dan perkebunan menjadi program yang wajib diprioritaskan. Hal ini dapat dimulai dengan berbagai cara diaantaranya : penguatan dan ketegasan “bos terhadap anak buah” secara hirarki dalam pelaksanaan opresional prosedur. Kedua menyegarkan kembali lembaga petani yang professional sehingga dapat dijadikan sebagai konsultan public bagi masyarakat luas. Kemudian penguatan program  penyuluhan, dan penyediaan/penyelamatan lahan.

*Refleksi tahun 2010, Program pemerintah Nagan Raya Provinsi Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar